Menakar Konsistensi Putusan MK

Oleh: Veri Junaidi
[Penulis adalah Staf Divisi Politik, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Jl. Talang, No. 23 Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat 10320]

 Rekapitulasi hasil pemilu secara nasional telah berakhir, ditandai dengan penetapan hasil oleh KPU. Walaupun sempat tersendat, akhirnya penetapan hasil itu memenuhi tenggat waktu yang disediakan UU 10/ 2008 tentang Pemilu Legislatif, 30 hari sejak pemungutan suara. Penetapan itu merupakan dasar penentuan perolehan kursi partai, anggota DPR dan DPD terpilih. Peserta pemilu juga dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, jika hasil pemilu yang ditetapkan KPU dianggap merugikan.

MK telah memprediksikan muncul 1000 permohonan sengketa hasil pemilu. Kemungkinan sengketa kali ini akan menjadi perkara terberat yang disidangkan MK, bukan karena kuantitasnya dua kali lipat dari Pemilu 2004. Berat bagi MK untuk menimbang, antara konsistensi memutus dengan konsekuensi putusan.

Melihat kekacauan pemilu 9 april lalu, pelanggaran terjadi begitu masif. Puluhan juta warga kehilangan hak pilih karena tidak terdaftar akibat kekacauan DPT. Ratusan ribu pasien rawat inap di rumah sakit seluruh Indonesia tidak dapat memberikan hak suara, karena KPU tidak menyediakan TPS khusus. Tahap rekapitulasi, terjadi pencurian, jual beli suara antar caleg dan penggelembungan suara.

Pelanggaran itu dilakukan secara masif dan justru berpotensi mempengaruhi perolehan suara. Akankah preseden Pemilukada ulang Jawa Timur, Bengkulu Selatan, Timur Tengah Selatan dan Tapanuli Utara akan terulang dalam pemilu legislatif kali ini? Bagaimana dengan nasib pemilu presiden, akankah dilanjutkan, jika hasil pemilu legislatif dibatalkan?!

Preseden
Putusan MK atas Pemilukada ulang Jatim dan 3 daerah lainnya, mencatat sejarah baru. Belum pernah terjadi, pemilu/ pemilukada dinyatakan tidak sah dan harus dilakukan pemungutan suara ulang. MK menilai telah terjadi pelanggaran terhadap demokrasi substansial. Pelanggaran dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis, sehingga berdampak besar terhadap perolehan suara.

Begitu besar harga yang harus dibayar MK dengan mengambil pilihan menabrak aturan formil perundang-undangan. Berpegang prinsip tegaknya keadilan dalam demokrasi, MK keluar dari tafsir sempit ketentuan undang – undang. Kewenangan MK menyelesaikan sengketa berdasarkan kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan penghitungan yang benar menurut pemohon tidak dapat dijadikan dasar. Sebab jika tetap mendasarkan pada bukti formil penghitungan suara, tidak akan terwujud kebenaran materiil dan sulit menemukan keadilan.

Sejak saat itu, MK telah mendeklarasikan diri sebagai penegak demokrasi substansial. MK bukanlah juru hitung yang bertugas mengkalkulasikan selisih hasil penghitungan antara pemohon dengan termohon. Pertimbangan hakim jauh menerawang pada kebenaran dan ketepatan proses penyelenggaraan.

Manipulasi dan kecurangan yang seharusnya menjadi kompetensi pengawas pemilu, polisi, jaksa dan hakim, diambil alih MK. Sengketa hasil pun terbuka dengan mengatasnamakan pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, masif dan sistematis. Baik pelanggaran pidana atau administrasi pemilu yang tidak tertangani dengan baik justru menguatkan cacat demokrasi. Kekacauan penyelenggaraan pemilu pun menjadi trend baru bagi parpol maupun calon perseorangan dalam mengajukan sengketa selisih hasil pemilu.

Preseden itu merupakan pesan bagi terselenggaranya pemilu yang lebih adil. Orientasi kesuksesan pemilu tidak hanya terletak pada hasil, namun bertumpu pada keadilan proses penyelenggaraan. Proses merupakan indikator untuk memastikan hak politik warga negara digunakan dengan baik dalam prosesi pemberian mandat kedaulatan rakyat. Jika itu terlanggar, MK tidak segan–segan memerintahkan pemilu ulang.

Simalakama
Kecenderungan sengketa hasil pemilu legislatif kedepan tidak hanya didasarkan selisih penetapan suara KPU. Kesalahan administrasi oleh penyelenggara, pelanggaran pidana dan kecurangan lain menjadi alasan pengajuan. Pola pengajuan itu mirip dengan Jatim, Bengkulu Selatan, TTS dan Taput. Mencoba untuk tidak mendikte hakim, peluang pembatalan hasil dan perintah pemilu ulang sangat besar, dengan asumsi termohon dapat membuktikannya.

Jika itu benar, maka akan menjadi pilihan sulit bagi MK. Putusan pemilukada ulang menjadi pilot project dalam mencapai kebenaran materiil. Konsistensi MK dalam memutus menjadi penting, demi menjaga kewibawaan pesta demokrasi, 9 april lalu. Namun pilihan itu memiliki konsekuensi besar pengunduran penyelenggaraan pemilu presiden. Agenda pilpres harus tertunda olehnya, karena sangat tidak mungkin memaksakan diri melanjutkan tahapan. Dampak lebih besar, 20 Oktober mendatang terjadi kekosongan kekuasan di Indonesia.

Agenda pilpres tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan pilleg. Pemilu di desain untuk saling terkait. Capaian hasil pemilu anggota DPR dan DPRD menjadi dasar pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu paket. Kandidat presiden dan wakil presiden baru akan dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 20 % kursi DPR atau 25 % suara.

Kini bola panas bergulir ke MK, dan menjadi ujian terberat bagi 9 pilar, the guardian of constitution. Penting untuk tetap konsisten menjaga demokrasi substansial, walau harus membatalkan hasil dan memerintahkan pemilu ulang. Namun penting juga menimbang stabilitas ketatanegaraan, dengan mengantisipasi kekosongan kekuasaan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Sumber Referensi